Jumat, 02 Desember 2011

'Ruwatan Bhumi Kota Malang' - Tepuk tangan atau tepuk jidat


Hari ini, Sabtu 3 Desember 2011 di kotaku Malang yang tercinta ini tengah berlangsung rangkaian acara Kirab Budaya Malang bertajuk ‘Ruwatan Bhumi Kota Malang’. Acara yang dijadwalkan jadi agenda tahunan ini bertujuan agar kebaikan dan situasi kota pendidikan ini tetap terjaga. Saya jadi bingung, harus tepuk tangan atau tepuk jidat atas digelarnya acara ini. Agar tidak bingung, marilah kita kupas satu persatu mengenai apa dan bagaimana ruwat beserta tetek bengeknya dipandang dari perspektif Islam.

Ruwatan adalah satu upacara tradisional supaya orang terbebas dari segala macam kesialan hidup, nasib jelek dan supaya selanjutnya bisa hidup selamat sejahtera dan bahagia. Atau dengan bahasa lain merupakan tradisi ritual Jawa sebagai sarana pembebasan dan penyucian, atas dosa/kesalahannya yang diperkirakan bisa berdampak kesialan didalam hidupnya. Tradisi ini merupakan kepercayaan sebagian masyarakat Jawa penganut sinkretis (yang menurut wikipedia adalah upaya untuk penyesuaian atau pencampuran kebudayaan pertentangan perbedaan kepercayaan, sementara sering dalam praktik berbagai aliran berpikir), beberapa abad silam sebelum agama Islam masuk ke tanah Jawa.

Tradisi ini memiliki arti “pelepasan” dan dimaksudkan untuk membebaskan manusia dari segala bentuk nasib buruk, sial serta marabahaya melalui penyelenggaraan sebuah upacara. Ruwat sangat dekat dengan dunia mistis dan tidak bisa lepas dari pengaruhi ghaib dalam pelaksanaannya. Daya mistis yang ditimbulkan dari ritual ini akan melindungi dari kejahatan yang akan merusak atau mencelakakan diri manusia. Maka ruwatan dianggap sebagai solusi terampuh menurut kepercayaan masyarakat Jawa pada jaman dulu. Pengaruh kepercayaan yang begitu kuat terhadap hal-hal mistis dan cerita mitos tentang dewa-dewa dinegeri khayangan yang tumbuh didalam masyarakat Jawa melahirkan beragam teori yang diyakini secara turun temurun menjadi salah satu kepercayaan warisan. Setiap generasi akan selalu menurunkan kepercayaan-kepercayaan itu ke generasi berikutnya. Mereka sering menghubungkan suatu kejadian dengan kejadian yang lain yang dianggap sebagai dampak suatu fenomena. Kejadian diawali dengan kesalahan dan kesalahan yang murni dilakukan oleh manusia ini menjadikan manusia akan tertimpa dampaknya suatu saat nanti, capat atau lambat.

Alkisah Bethara Guru, ketua para Dewa dan mewakili sifat baik, mempunyai istri yang bernama Dewi Uma. Ketika suatu sore, Bethara Surya (Dewa Matahari) hampir tenggelam di ufuk barat muncullah Sandyakala (pembiasan cahaya dilangit berwarna kuning semburat merah indah), Saat itu Bethara Guru bersama Dewi Uma sedang terbang melanglang buwana. Karena keindahan Sandyakala, Bethara Guru tidak dapat menahan nafsunya, namun Dewi Uma menolak, hingga jatuhlah sperma (setya) Bethara Guru ke tengah laut. Lantas Bethara Guru mengutus Bethara Brama untuk menghancurkan setya tersebut. Sebelum berhasil, setya tersebut berubah menjadi raksasa bergelar Bethara Kala, Dewi Uma kemudian dikutuk oleh Bethara Kala menjadi Durga (sosok dewi yang mengerikan). Dalam tradisi pewayangan kejadian ini disebut "kama salah kendang gumulung". Ketika raksasa ini menghadap ayahnya untuk meminta makan, oleh Bethara Guru diberitahukan agar memakan manusia Sukerta.

Sukerta sendiri adalah manusia yang memiliki kesialan karena sebab-sebab tertentu yang menjadikannya sebagai mangsa Bethara Kala. Sukerta ini mendapatkan jalan keluar dari masalah ini dengan mendapatkan dewa penolong yaitu Dewa Wisnu sebagai Dewa Pangreksa (Dewa Pemelihara) dengan mengajarkan mantra-mantra, doa tolak bala’ dan Ruwat mala untuk menghilangkan kesialan. Atas dasar inilah, agar tak termakan Sang Bethara Kala ini diperlukan ritual Ruwatan.

Berkaitan dengan masalah di atas, dari perspektif Islam tradisi ruwatan dapat digolongkan ke dalam kemusyrikan. Ada beberapa alasan yang mendasari hal ini adalah istilah membuang kesialan dengan meminta pertolongan selain Allah. Dalam uraian di atas terdapat kata-kata sukerta, sedangkan dalam Islam terdapat istilah Tathoyyur atau Thiyaroh yang memiliki arti “merasa bernasib sial, atau meramal nasib buruk karena melihat burung, binatang lainnya, atau apa saja”.

Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam pernah menyatakan ”Thiyaroh (tathoyyur) adalah syirik/menyekutukan Allah, thiyaroh adalah syirik, thiyaroh adalah syirik , (diucapkan) tiga kali, dan tiada seorangpun dari antara kita kecuali (telah terjadi dalam hatinya sesuatu dari hal ini), hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya.” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Ibnu Majah dari hadits Ibnu Mas’ud, dari Rasulullah saw)

Didukung pula dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, sebuah hadits dari Ibnu ‘Amr bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengurungkan hajatnya karena thiyarah, maka dia telah berbuat syirik.” Para sahabat bertanya, ”Lalu apakah sebagai tebusannya?” Beliau menjawab, ”Supaya mengucapkan, Ya Allah, tiada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiada kesialan kecuali kesialan dari Engkau, dan tiada sembahan yang haq selain Engkau.” (HR Ahmad).

Sedang perihal meminta perlindungan kepada Batoro Kolo agar tidak dimangsa dengan upacara ruwatan dan wayangan itu termasuk kemusyrikan yang dilarang dalam Al-Qur’an:

”Dan janganlah kamu memohon kepada selain Allah, yang tidak dapat memberi manfaat dan tidak pula mendatangkan bahaya kepadamu,jika kamu berbuat (hal itu), maka sesungguhnya kamu, dengan demikian, termasuk orang-orang yang dhalim (musyrik).” (QS. Yunus [10] : 106).

“…maka sesungguhnya kamu, dengan demikian, termasuk orang-orang yang dhalim (musyrik).” Artinya sesungguhnya kamu apabila mendoa kepada selain-Nya adalah termasuk orang-orang musyrik yang mendhalimi kepada diri-diri mereka sendiri.

”Dan jika Allah menimpakan kepadamu suatu bahaya, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya selain Dia; sedang jika Allah menghendaki untukmu sesuatu kebaikan, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya...” (QS. Yunus [10] : 107)

Bencana dan musibah yang bertubi-tubi datang merupakan adzab dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada bangsa Indonesia. Mengapa ini terjadi? Karena bangsa yang mayoritas muslim ini masih mempraktekkan kemusyrikan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal kalau mereka tahu, kemusyrikan yang mereka lakukan itu sebenarnya bentuk kedzaliman yang paling tinggi dan besar serta sangat tidak disukai oleh Allah….Naudzubillahi mindzalik……Maka dari sini sudah jelas, bahwa yang harus kita pilih adalah sebuah tepukan di jidat…….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar