Kamis, 14 Juli 2011
Mengapa Menjadi Baik Itu Sulit
Browsing di awal Jum'at di masa menjelang Ramadhan...eh...ga sengaja nemu artikel yang bagus banget...karena itu kami beranikan diri untuk meng share artikel ini meski hanya sekedar copas tanpa menambah dan mengurangi isinya..semoga bermanfaat...
Sering sekali kita dapati diri kita merasa berat untuk beramal kebaikan. Padahal kita telah mengetahui kebaikan amal tersebut. Dan juga sering didapatkan jiwa kita berat untuk meninggalkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala larang. Padahal, kita telah tahu keburukan dan bahayanya. Baik bahaya di dunia yang disegerakan ini, maupun bahaya nanti di hari akhir.
Banyak juga saudara-saudara kita yang mungkin juga termasuk kita senidiri, merasa bahwa shalat yang dilakukan tak berfaidah apa-apa baginya. Sehingga ia menyoal, bagiamana kebenaran ayat bahwa shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar? Nyatanya, tetap saja perbuatan keji dan mungkar dilakukan.
Bila kita menyadari tentu kita menilai bahwa dua hal ini sangat membahayakan. Lalu bagaimana kita bisa menepisnya?
Pertama perlu diketahui, bahwa hal tersebut terjadi bukan tanpa sebab. Namun, ia terjadi karena adanya sebab-sebab. Di antara sebabnya ialah memperturutkan nafsu. Tatkala seseorang tak lagi memiliki sikap menahan diri dari segala keburukan yang membawanya menuju takwa, sehingga ia akan melihat yang haram itu haram. Tatkala itulah ia akan mudah menuruti nafsu.
Seseorang apabila mau bercermin meliahat dirinya sendiri, melihat bahwa dirinya bukan sekadar jasad yang akan mati dan musnah dimakan tanah. Namun, ia melihat bahwa kelak ia akan kembali kepada Allah 'Azza wa Jalla meski selama apapun ia kan hidup di dunia ini, tentu ia akan mampu mengalahkan nafsunya, bahkan ia akan kuasa atas nafsunya.
Di antara sebabnya juga ialah karena setan menjadikan kemaksiatan seperti ini dipandang remeh dan kecil belaka oleh seseorang. Hati seseorang dibutakan oleh setan dari bisa melihat besar dan hebatnya maksiat. Sedangkan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan dengan sabda beliau,
“Hati-hatilah kalian dari hal meremehkan dosa-dosa. Sungguh, permisalannya ialah seperti suatu kaum yang mendatangi suatu tempat lalu ia ambil sedahan kayu darinya, dan datang ke tempat lainnya dan ia juga mengambil sedahan kayu darinya, lalu ia datang lagi ke tempat lainnya dan ia juga mengambil sedahan kayu saja darinya. Lalu tak ia sangka ia telah mengumpulkan kayu bakar yang banyak sekali yang mampu mengobarkan api yang menjilat-jilat.” (Musnad Ahmad, 6/367 (3817))
Demikianlah keadaan kemaksiatan yang diremehkan. Di mana seseorang melihatnya sangat remeh sehingga ia tetap ada padanya. Akhirnya iapun menjadi suatu dosa di antara dosa-dosa besar.
Oleh karenanya, sebagian ahli ilmu dari kalangan salaf kita yang shalih mengatakan,
"Sesungguhnya terus-menerus di dalam dosa-dosa kecil menjadikannya dosa besar, dan sesungguhnya istighfar dari dosa-dosa besarlah yang akan menghapuskannya.”
Oleh karenanya juga, kita nasihatkan kepada diri-diri kita, segeralah muhasabah, lihatlah siapa dirimu di hadapanRabbul ‘alamin 'Azza wa Jalla Zat Yang Mahabesar!
Kedua, tentunya tak seorang msulim pun yang mengingkari kebenaran ayat al-Quran tentang bahwa shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Mengapa ada yang menyoal kebenarannya?
Masalahnya bukan pada ayatnya. Sebab semua ayat al-Quran benar. Namun, masalahnya ialah pada shalatnya. Berapa banyak orang yang shalat, namun tidak mendapatkan apa-apa dari shalatnya? Berapa banyak orang yang merasa telah shalat, padahal sungguh seandainya ia tahu apa yang telah ia lakukan tidak layak disebt shalat. Sebab, ia shalat hanya gerakan-gerakan badan. Ia shalat hanya sekadar “menyempat-nyempatkan” menunaikan kewajiban. Sementara hati, jiwa dan kekhusyuanya entah ke mana perginya. Bagaimana shalat yang dilakukan bermanfaat baginya?
Benarlah yang disabdakan oleh Rasulullah shallaallahu alaihi wa sallam, yang artinya, “Sungguh, seseorang telah melakukan shalat, dan ia tidak mendapati faidah dari shalatnya selain sepersepuluhnya, atau sepersembilannya, atau seperdelapannya, atau sepertujuhnya…” Perawi Hadits ini mengatakan, “Demikian seterusnya sampai habis bilangan disebutkan oleh beliau.” (HR. Musnad Ahmad, 4/319 (18899).
Jadi, bisa jadi yang tepat ialah bukan menyoal kebenaran ayat yang pasti benar, namun tanyakan sejauh mana shalat yang kita lakukan telah mengantarkan kita menggapai faidah-faidahnya? Sebab berapa besar faidah shalat yang kita harapkan, sesuai dengan sebaik apa kualitas shalat yang kita lakukan. Sesuai sebesar apa ke-khusyu'-an hati kita yang kita hadirkan.
Yang penting juga, bahwa hati akan mudah khusyu’ apabila bersih dari racun-racun yang mencemarinya. Ialah kemaksiatan dan dosa-dosa. Bisa jadi karena hati ini belum bersih dari noda dosa, sehingga berat diajak khusyu’tunduk di hadapan-Nya, meski dipaksa. Naudzubillahi min dzalik.
Allahumma, ya Allah, anugerahkanlah kepada hamba lisan yang banyak berdzikir, dan hati yang khusyu’, serta doa yang Engkau kabulkan. Amin.
Penulis: Ustadz Abu Ammar Al-Ghoyami
Jumat, 08 Juli 2011
Persiapan Hati Menjelang Ramadhan
Imam Abu Bakr Az Zur’i rahimahullah memaparkan dua perkara yang wajib kita waspadai. Salah satunya adalah [اَلتَّهَاوُنُ بِالْأَمْرِ إِذَا حَضَرَ وَقْتُهُ], yaitu kewajiban telah datang tetapi kita tidak siap untuk menjalankannya. Ketidaksiapan tersebut salah satu bentuk meremehkan perintah. Akibatnya pun sangat besar, yaitu kelemahan untuk menjalankan kewajiban tersebut dan terhalang dari ridha-Nya. Kedua dampak tersebut merupakan hukuman atas ketidaksiapan dalam menjalankan kewajiban yang telah nampak di depan mata.
Tidak lama lagi, kaum muslim di pelbagai penjuru dunia akan memasuki bulan suci Ramadhan 1432 H. Perasaan suka-cita membahana dalam sanubari menyambut kedatangannya. Seperti tamu agung, Ramadhan adalah ‘tamu’ yang selalu dinanti kedatangannya, bahkan dalam sebuah hadits disebutkan jika sesorang mengetahui keutamaan yang ada dalam Ramadhan, tentu ia akan mengharap setiap hari adalah Ramadhan.
Meskipun begitu, menyambut bulan turunnya Al-Quran ini perlu melakukan persiapan agar pelaksanaan puasa berlangsung khidmat dan penuh hikmah. Layaknya orang yang akan melangsungkan perjalanan ke suatu tempat, perlu menyiapkan bekal, seperti itu pula saat hendak melaksanakan perjalanan ke ‘negeri’ Ramadhan.
Pertama, persiapan ilmu. Persiapan pertama yang harus dilakukan adalah menyiapkan pengetahuan seputar syarat sah, sunnah-sunnah, dan hal-hal yang bisa membatalkan puasa. Ilmu menjadi penting sebagai syarat pertama, sebab seseorang diharapkan telah mengetahui jauh sebelum berucap dan beramal, termasuk dalam soal berpuasa. Ilmu yang dimaksud diantaranya mengetahui syarat dan rukun puasa sehingga semua hal yang sekiranya dapat membatalkan dan mengurangi nilai puasakita, bisa kita hindari.
Kedua, persiapan fisik. Menyiapkan jasmani yang prima akan melahirkan etos ibadah yang baik. Betul, bahwa kesehatan bukan segalanya tetapi dengan kesehatan kita bisa melakukan semua hal. Disebutkan dalam hadits, “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dari mukmin yang lemah.”
Sekuat apapun komitmen ibadah yang hendak kita tunaikan, kala kesehatan tidak dalam kondisi fit, semua itu hanya menjadi mimpi-mimpi belaka yang tak kunjung terwujud.
Ketiga, persiapan batin. Yaitu membersihkan hati dan alam pikiran dari cabang-cabang penyakit hati, baik iri hari, dengki, dendam, sombong, suka pamer, gila pujian, dan sebagainya.
Di Indonesia sendiri, kebiasaan yang berkembang selama ini ialah anjang sana ke sanak-saudara atau handai tolan, Meminta maaf, terutama dengan orang-orang terdekat kita dan orang-orang disekeliling kita (misalnya suami, orangtua, dan anak kemudian saudara-saudara kita dan orang-orang yang sering dan pernah berinteraksi dengan kita) dengan harapan saat masuk Ramadhan hati sudah dalam keadaan bersih dan siap secara total beribadah kepada Allah. Dan yang terpenting adalah memperbaharui pernyataan taubat kita. Taubat yang dibutuhkan bukanlah seperti taubat yang sering kita kerjakan. Kita bertaubat, lidah kita mengucapkan, “Saya memohon ampun kepada Allah”, akan tetapi hati kita lalai, akan tetapi setelah ucapan tersebut, dosa itu kembali terulang. Namun, yang dibutuhkan adalah totalitas dan kejujuran taubat. Jangan pula taubat tersebut hanya dilakukan di bulan Ramadhan sementara di luar Ramadhan kemaksiatan kembali digalakkan. Ingat! Ramadhan merupakan momentum ketaatan sekaligus madrasah untuk membiasakan diri beramal shalih sehingga jiwa terdidik untuk melaksanakan ketaatan-ketaatan di sebelas bulan lainnya.
Keempat, menata akhlak. Dalam hal apapun, akhlak menjadi urgen diperhatikan sebab keajegan beribadah yang bertumpu pada fiqih an sich membuat kering dari nilai-nilai kesejatian dan moral.
Akhlak dalam Ramadhan yang harus diperhatikan sejak dini adalah menjaga mata, telinga, kemaluan, lidah, dan anggota tubuh lainnya sehingga jangan sampai kita hanya puasa perut, puasa yang sekadar menahan makan dan minum, tapi kehilangan keutamaan-keutamaan Ramadhan. Tak lupa kita juga harus membuat suasana rumah yang menyenangkan dalam menyambut Ramadhan sehingga anak-anak akan ikut merasakan kegembiraan dalam bulan yang mulia ini.
Wahai kaum muslimin, agar buah bisa dipetik di bulan setelah Ramadhan, harus ada benih yang disemai, dan ia harus diairi sampai menghasilkan buah yang rimbun. Puasa, qiyamullail, bersedekah, dan berbagai amal shalih di bulan Ramadhan, tujuannya agar kita bisa memanen kelezatan puasa dan beramal shalih di bulan Syawal dan bulan-bulan setelahnya, karena lezatnya Ramadhan hanya bisa dirasakan dengan kesabaran, perjuangan, dan tidak datang begitu saja. Hari-hari Ramadhan tidaklah banyak, perjalanan hari-hari itu begitu cepat. Oleh sebab itu, harus ada persiapan yang sebaik-baiknya.
Puasa sejati adalah berpuasa secara kolektif, puasa yang menggabungkan antara puasa perut, anggota tubuh, dan hati.
Langganan:
Postingan (Atom)