Senin, 14 November 2011

Ibu


Ibu, adalah sosok yang tiada bandingannya. Sembilan bulan lamanya ‘menggendong’ buah hatinya kemanapun ia pergi,makin hari bebannya pun makin berat. Belum lagi saat kelahiran si kecil, ibu rela mempertaruhkan nyawanya. Lalu selama dua tahun, ibu menyusuinya, mengasuh, membelai dan membimbingnya hingga ia bisa mandiri. Ibulah yang pertama-tama mengajarkan berbagai kosa kata, nama-nama, mnyanyikan lagu, membacakan cerita, dan sebagainya. Ibu adalah sosok pertama yang mengenalkannya pada Sang Khalik dan mendekatkannya pada lingkungan. Begitu besar amanah yang dipikul seorang ibu.

Nabi Muhammad Saw suatu ketika bertanya kepada seorang laki-laki : ”Apakah Anda sangat ingin masuk surga? Surga yang sangat anda inginkan itu terletak di bawah kaki para ibu.” Dengan tegas Rasul Saw bersabda : “Aljannatu tahta aqdaamil ummahaati yang artinya surga itu terletak di bawah kaki ibu”. Kata-kata tersebut menjadi semboyan kemegahan kaum ibu.

‘Surga di bawah telapak kaki ibu’. Bagaimana mengartikannya? Banyak orang mengambil pelajaran tentang kewajiban setiap anak untuk berbakti kepada ibunya (orang tua) mengingat jasa ibu yang demikian teramat besar bagi sang anak. Jasa ibu yang demikian besar tidak bisa dibalas oleh seorang anak, walau dengan emas dan permata setinggi gunung sekalipun. Pemahaman yang demikian penting diresapi bagi ‘seorang anak’ agar ia mampu mengoptimalkan kebaktiannya kepada ibunya (orang tuanya). Dan hadits “surga di bawah telapak kaki ibu” itu menyimpan sisi hikmah yang agung bagi seorang ibu agar menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-anaknya karena kebaikan sang anak (surga) tergantung dari langkah kaki (upaya pendidikan) dari ibunya.

Rasulullah Saw menunjukkan penghormatannya pada kaum ibu dan meninggikan kedudukan kaum ibu. Kisah kepahlawan seorang Ibu pun menjadi perhatian penting dalam tapak sejarah, seperti Al-Khansa yang sanggup memotivasi dan menghantarkan putra-putranya mati syahid atau Siti Masyithoh yang menerjemahkan kasih sayangnya dengan membawa putra-putranya “ikut” bersama menemui Khalik demi mempertahankan keimanannya.

Karena itulah Rasul Saw memerintahkan seluruh umatnya untuk menghormati wanita, sebagaimana sabdanya : Maa akramannisa a illa kariimu wa la ahaanahunna illa laiimun. Artinya, ‘Yang memuliakan wanita, hanyalah orang yang mulia, dan yang menghinakan wanita, hanyalah orang yang hina’. Dan Islam menempatkan kewajiban berbakti kepada ibu melebihi kewajiban berbakti terhadap ayah. Dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu berkata: Seseorang datang kepada Rasulullah Saw dan bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?” Beliau menjawab, “Ibumu.”Tanyanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Tanyanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, Ibumu” Kemudian tanyanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Bapakmu.” (Muttafaq ‘alaih).

Apa yang terjadi pada seorang anak saat ini’ adalah buah dari langkah-langkah sang ibu di masa lalunya. Sang ibu yang senantiasa menapaki jalan hidupnya di dalam kebaikan, mencari rezeki halal demi masa depan anak-anaknya, rajin bermunajat di penghujung malam mendoakan anak-anaknya, semua itu sangat mempengaruhi masa depan anaknya. Namun sebaliknya, andaikan sang ibu mencari rezeki dari jalan yang buruk, suka memberikan kata-kata kasar dan buruk kepada anaknya, memarahi dan memukuli anaknya, dan segala kegiatan beratribut buruk lainnya, maka akan berpengaruh pada perilaku anaknya. Ia akan menjadi buruk baik secara pemikiran maupun akhlak. Dan boleh jadi semua itu menjadi biang ketidakberhasilannya dalam bangku pendidikan. Seorang ibu yang selalu menapakkan langkahnya menuju kemaksiatan, maka sentuhan pendidikannya adalah penuh kemaksiatan. Kemaksiatan yang tertanam pada seorang anak ini bisa menghantarkannya kepada neraka. Contoh kecil saja bagaimana seorang ibu yang senantiasa berdusta kemudian ia memberikan sentuhan pendidikan kepada anaknya pun dengan dusta. Maka wajarlah jika kebiasaan dusta itu menurun kepada seorang anak. Padahal Rasulullah Saw telah bersabda barang siapa yang berkata dusta, maka kedustaannya itu akan menghantarkannya pada keburukan, dan keburukan itu akan menghantarkannya pada api neraka.

Tidaklah mungkin suatu output yang buruk, baik secara kognitif (keilmuan), afeksi (moralitas), dan konatif (operasional), dihasilkan dari suatu input yang baik. Sudah menjadi fakta empiris bahwa output yang buruk dihasilkan dari input yang buruk juga. Istilah kerennya adalah “garbage in garbage out”.

Anak-anak yang susah sekali diajak kepada jalan kebaikan, yang suka berhura-hura, yang berkata kotor, yang bermental preman, mimum-minuman keras, memakai narkoba, dan lain-lain, boleh jadi disebabkan oleh langkah dari ibu-ibu mereka yang kurang tepat di masa lalu. Dan tentu saja, ini tidak mengke sampingkan peran ayah sebagai pemimpin bagi ibu dan anak-anak.

Namun seringkali seorang anak tidak selamanya hanya berperan sebagai anak yang senantiasa diliputi pikiran untuk berbakti kepada ibu-(orang tua)-nya. Jika ia seorang anak laki-laki yang sudah beristri dan beranak, maka ia wajib pula memikirkan pendidikan isteri dan anak-anaknya. Jika ia seorang isteri yang telah bersuami dan beranak, maka ia wajib pula memikirkan kewajiban terhadap suami dan anak-anaknya.

Alangkah indah jika ungkapan di atas dipahami secara bijak oleh seorang anak dan juga seorang ibu. Seorang anak lebih melihat kepada 'kewajiban berbakti' dan seorang ibu akan lebih melihat kepada 'kewajiban mendidik'. Insya Allah jika demikian adanya, maka tidak akan pernah terjadi konflik yang mempertentangkan antara orang tua dan anak. Sebaliknya, suasana kehidupan keluarga terasa sangat kondusif buat menumbuh-suburkan potensi kebajikan yang akan menghantarkan mereka semua kepada surga Allah nan abadi kenikmatannya.

Saat ini kita melihat peran seorang ibu yang demikian strategis itu banyak ditinggalkan dan dilupakan oleh sebagian para ibu. Mereka lebih suka mengerjakan tugas lain selain tugas merawat dan mendidik anak. Seharusnya, bagaimana pun kesibukannya pekerjaan merawat dan mendidik anak adalah pekerjaan prioritas di atas pekerjaan yang lain. Tugas merawat dan mendidik anak bukanlah pekerjaan sepele. Dia membutuhkan profesionalitas. Bagaimana tidak? Tugas yang mengantarkan pada pencapaian sumber kebahagian yang semu saja (duniawi) membutuhkan profesionalitas, bagaimana dengan tugas yang menghantarkan pada kekuatan generasi yang menghantarkan pada kekuatan ummat? Padahal di dalam kekuatan ummat itulah potensi-potensi kebajikan yang menghantarkan pada kebahagian abadi (surga) bisa dioptimalkan? Jelas bahwa tugas demikian sangat membutuhkan profesionalitas, bahkan harus.

Fenomena penyimpangan perilaku sang anak yang kemudian ditelusur ternyata akibat pendidikan yang salah dari orang tua, menyadarkan akan kebenaran bahwa ‘surga sang anak itu memang berada di bawah telapak kaki ibunya. ’ Dalam kisah paman saya, keberhasilan studi sang paman (keberhasilan dunia) adalah berkat didikan kerja keras ibunya. Dan akhlakul karimah dari seorang anak yang akan menghantarkanya ke surga akhirat, adalah berkat didikan dari ibunya juga.

Semoga kita bisa mengoptimalkan rasa bakti kita pada orang tua kita pada satu sisi, dan mengoptimalkan daya didik kepada anak-anak kita pada sisi lainnya. Semua harus dijalankan secara terpadu, seimbang dan harmonis, demi lahirnya potensi-potensi kebaikan yang menghantarkan ke surga. Permasalahan bagaimana agar anak-anak tumbuh menjadi anak-anak yang sholih yang bersikap baik pada orang tuanya, terutama ibunya dan menghormati kaum ibu. Inilah tanggung jawab kita.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar